Rabu, 02 Maret 2011

Pertarungan Melawan Raksasa Telekomunikasi AT&T


Pada tahun 1968 Kongres Amerika Serikat meluluskan rancangan undang-undang telekomunikasi, yang salah satu efeknya adalah memangkas hak monopoli atas bisnis telekomunikasi AS oleh AT&T. Ini sekaligus membuka peluang bagi perusahaan telekomunikasi lain untuk menjual berbagai jasa komunikasi dan pernik-perniknya seperti layanan telepon jarak jauh, membuat dan memasarkan pesawat telepon, dan sebagainya.

Jelas, sebagai penguasa tunggal pasar telekomunikasi bernilai $ 35 milyar dollar per tahun, Ma Bell (nama lain AT&T) tidak ingin kue mereka dibagi-bagikan kepada orang lain. Maka, ketika John DeButts yang ambisius diangkat menjadi presiden direktur dan CEO AT&T pada 1972, dia terang-terangan mendeklarasikan target utama kerjanya, yakni mengembalikan hak monopoli telekomunikasi kepada perusahaan yang didirikan oleh Alexander Graham Bell ini dan 1800 perusahaan afiliasi (subkontraktor)-nya.



Untuk meraih ambisinya dengan cepat, Bell secara agresif melancarkan kampanye penggalangan opini publik Amerika untuk mendukung dikembalikannya hak monopoli telekomunikasi kepada mereka melalui pembuatan undang-undang telekomunikasi baru menggantikan UU tahun 1968. Slogan yang mereka usung singkat tapi bernas: ”kalau tidak rusak, jangan perbaiki”. Artinya, jika sistem yang selama ini berjalan (monopoli) tidak mempengaruhi kinerja layanan kepada pelanggan, janganlah diutak-atik.

Melalui slogan tersebut Bell berusaha memainkan rasa takut masyarakat akan perubahan. Ini tidak beda dengan taktik yang digunakan para pengusaha angkutan kereta kuda di masa silam ketika kehadiran kereta api mengancam bisnis mereka, atau bisnis operator radio panggil (pager) yang mengangkat rumor bahaya radiasi ponsel, ketika menyadari kehadiran ponsel bakal menenggelamkan usaha mereka.

Masalahnya sekarang adalah Bell memiliki kekuatan pendanaan dan sumberdaya yang sangat besar untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Tak heran jika dalam waktu singkat mereka mendapat dukungan luas dari kalangan politisi dan organisasi-organisasi kuat lain, termasuk serikat buruh telekomunikasi terbesar di negeri itu, Communications Workers of America.

Merasa di atas angin, Bell semakin menggencarkan upaya lobi mereka yang hampir mencapai keberhasilan ketka pada tahun 1976 sebuah rancangan undang-undang baru yang dikenal dengan nama Bell Bill diajukan ke Kongres. Apabila RUU ini disahkan, banyak peraturan di dalamnya akan menguntungkan Bell, diantaranya memberinya hak sebagai operator tunggal telekomunikasi Amerika Serikat.

Bagi konsultan humas mana pun, mencoba membalikkan situasi semacam ini adalah sebuah mission impossible. Namun itulah coba yang dilakukan Carl Byoir & Associates ketika mereka dikontrak oleh NATA (North American Telephone Association) dengan misi menggagalkan pengesahan RUU tersebut melalui perang humas melawan Bell. NATA adalah asosiasi perusahaan telekomunikasi di luar Bell yang bakal terkena imbas buruk andai Undang-undang baru itu diberlakukan. Selama ini mereka hidup hanya dengan menerima porsi kecil kue bisnis komunikasi yang ada, dan akan makin terpuruk jika potongan kecil kue tersebut diambil dari tangan mereka.

Sebagai strategi mereka, Byoir menetapkan tujuan spesifik yakni mengubah opini publik dan dewan legislatif (Kongres) untuk beralih dari mendukung menjadi menentang Bell Bill. Sasaran kunci yang akan mereka garap adalah tenaga kerja, legislator, dan konsumen pengguna layanan telepon.

Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi sekutu aktual maupun potensial. Mereka berhasil menemukan dua pihak yang satu hati dan bakal mendukung upaya mereka, yakni Federal Communications Commission (FCC) dan President’s Office of Telecommunication Policy. Keduanya merupakan lembaga idealis yang berusaha mencegah praktek monopoli dalam bentuk apapun. Selain itu, publik yang menaruh curiga dengan kepentingan terselubung Bell untuk menguasai pasar juga terhitung sebagai sekutu potensial buat memerangi ambisi Bell. Byoir juga mendekati media dan organisasi swadaya (LSM) untuk perlindungan konsumen seperti Common Cause.

Pukulan pertama mulai dilayangkan pada September 1976 menjelang diselenggarakannya dengar pendapat Kongres tentang Bell Bill. Byoir menyelenggarakan konferensi pers besar di Washington, D.C., mengumumkan penolakan NATA atas Bell Bill disertai alasan-alasan logis penolakan tersebut.

Pukulan kedua adalah memulai gerilya penyebaran informasi yang menguraikan bahaya Bell Bill bagi kepentingan negara dan konsumen apabila disahkan menjadi undang-undang. Gerilya tersebut meliputi mempublikasikan artikel dan berita di koran dan majalah-majalah, mengusahakan isu itu diangkat pada siaran radio dan televisi, menyelenggarakan ratusan ceramah dan seminar di seluruh negeri melalui biro juru bicara yang dibentuk khusus, hingga pendekatan tatap muka dengan kalangan wartawan dan redaktur media, dengan mengutus empat staf Byoir untuk melakukan tugas tersebut.

Dalam waktu satu tahun sejak kampanye mulai dilancarkan, arus opini publik mulai berbalik arah dari semula mendukung pengesahan Bell Bill menjadi menolak. Para politisi di Kongres yang menyadari hal itu pun mulai berubah sikap. Dari semula 120 anggota Kongres menyatakan mendukung Bell Bill, satu persatu rontok alias membatalkan dukungan mereka.

Menyadari hal ini AT&T mulai merasa khawatir, namun masih mencoba bertahan. Mereka bahkan membuat kampanye humas tandingan melalui satu seri iklan televisi yang ditayangkan di jam-jam tayang utama. Pada iklan tersebut Bell mencoba menakut-nakuti konsumen dengan mengatakan bahwa sistem layanan telepon Bell adalah yang terbaik di dunia dan sudah teruji. Apabila pesaing dibiarkan memasuki pasar hal itu hanya akan merusak kualitas layanan yang selama ini dinikmati pelanggan.

Namun masyarakat tidak lagi mendengarkan mereka. Alih-alih percaya, konsumen kini lebih melihat Bell sebagai perusahaan raksasa yang rakus dan mencoba menguasai pasar telekomunikasi dengan menghindari kompetisi yang sehat.

Dua tahun setelah kampanye penentangan dimulai, rancangan undang-undang Bell Bill mati sendiri akibat ditelantarkan karena tak ada lagi yang mendukungnya. Monopoli AT&T berakhir untuk selamanya. John DeButts mengajukan pensiun dini dari kursi CEO AT&T karena merasa gagal mengawal kepentingan perusahaan tersebut. Dan Amerika Serikat hingga hari ini menikmati sistem telekomunikasi terbaik di dunia, jauh melebihi kapasitas yang disediakan Bell pada tahun 1970-an.

Salah satu kampanye hubungan masyarakat terbaik sepanjang masa itu memainkan peranan kunci mengakhiri monopoli bisnis selama puluhan tahun yang merusak sendi-sendi ekonomi negara dan mematikan persaingan usaha yang sehat.

****

Sumber: Robert J. Wood, Pengakuan Seorang Humas (Penerbit Mitra Utama)
 
© Copyright 2035 Inspirasi PR dan Marketing
Theme by Yusuf Fikri