Sabtu, 19 Maret 2011

Pria Marlboro, Ikon Produk Paling Berpengaruh Sekaligus Dibenci


Masyarakat kontemporer membenci rokok karena pengaruh buruknya buat kesehatan. Namun terlepas dari kontroversi tentang produk itu sendiri, di mata orang periklanan dan siapa saja yang profesinya berkaitan dengan relasi publik, salah satu brand image paling kuat dan inspiratif yang pernah dibuat dalam sejarah adalah karakter imajiner yang mengiklankan merek rokok produksi Philip Morris: Marlboro Man alias Pria Marlboro.


Pria Marlboro adalah figur imajiner yang digunakan secara konsisten pada kampanye iklan rokok Marlboro selama rentang waktu yang panjang, dari tahun 1954 hingga 1999. Pria Marlboro hadir sebagai sebuah ikon populer nan penuh dengan paradoks: dia dikagumi sekaligus dibenci, berpengaruh tetapi dijauhi, simbol yang penuh vitalitas dan semangat namun mempromosikan produk yang efeknya menghancurkan jasmani.

Mengapa Pria Marlboro dinobatkan sebagai brand image paling berpengaruh dalam sejarah periklanan? Ini tak terlepas dari proses awal kreasinya, dan efektivitasnya dalam mengangkat penjualan maupun mengubah secara drastis citra produk yang diiklankan.

Pada tahun 1924, Philip Morris & Co. selaku produsen memperkenalkan Marlboro sebagai merek rokok premium untuk segmen pasar wanita, sebagai versi yang lebih ringan (mild) dari sigaret yang ditujukan kepada konsumen pria. Segmen pasar tersebut terus digarap Marlboro hingga awal tahun 1950-an. Pada saat itu mulai dilakukan pergeseran orientasi besar-besaran di kalangan produsen tembakau pasca dipublikasikannya sejumlah hasil penelitian medis yang menguraikan hubungan positif antara merokok dengan timbulnya kanker. Industri rokok kini mulai lebih fokus memproduksi sigaret filter sebagai respon atas hasil penelitian tersebut.

Sialnya, pada masa itu rokok filter – termasuk Marlboro yang juga mulai menerapkan penggunaan filter – sedikit bermasalah dalam hal pemasaran karena memiliki citra yang sudah kadung melekat sebagai rokok feminin. Kaum pria sebagai segmen pasar utama enggan mengisapnya karena merasa kurang maskulin, selain takut ditertawakan kawan-kawannya dan diejek sebagai perokok banci. Untuk mengatasi masalah tersebut, Philip Morris menggandeng firma periklanan legendaris Leo Burnett untuk membuat seri kampanye iklan untuk merombak total wajah lama Marlboro, menggantinya dengan citra baru yang sesuai dengan pasar utama yang hendak disasar.

Kebanyakan produsen rokok filter lain membuat kampanye iklan ”ilmiah” yang berusaha menjelaskan detil teknologi pembuatan filter sigaret, menggunakan kosakata teknis dan kedokteran yang canggih untuk meyakinkan konsumen bahwa rokok filter mereka memiliki risiko yang lebih rendah terhadap kesehatan perokok.

Leo Burnett menggunakan pendekatan yang samasekali berbeda. Dia berpikir, membuat klaim tentang keamanan rokok filter bagi kesehatan akan bermasalah dalam jangka panjang, karena boleh jadi akan muncul penelitian baru yang membantah efektifitas filter dalam mengurangi bahaya merokok (dan itu terbukti benar). Karena itu Burnett memutuskan membikin iklan yang samasekali tidak menyinggung isu kesehatan dan segala tetek-bengeknya. Alih-alih, dia justru merancang kampanye iklan yang menonjolkan maskulinitas alias kejantanan.

Sebuah foto karya Leonard McCombe di Majalah LIFE yang menjadi ilustrasi artikel tentang koboi Texas bernama Clarence Hailey Long memberinya ilham. Burnett lantas menciptakan karakter fiktif koboi maskulin yang diberi nama ”Marlboro Man” sebagai ikon baru kampanye rebranding Marlboro. Burnett juga menciptakan karakter maskulin lain seperti atlet, pembalap mobil, pembuat senjata api, dan pelaut untuk seri kampanye iklan Marlboro, namun yang paling efektif dan bertahan adalah sang koboi.



Untuk memperkuat citra macho dan kemerdekaan yang hendak ditampilkan, Leo Burnett juga tak lupa menambahkan berbagai atribut lain buat sang pria Marlboro, termasuk meminjam ilustrasi musik populer dari film western terkenal the Magnificent Seven yang dibintangi Yul Brynner dan Steve McQueen, serta menyediakan kawasan ngarai beserta padang rumput dengan nama imajiner ”Marlboro Country” tempat para koboi Marlboro bebas keluyuran dengan kudanya menggembala ternak, bermain tali laso, atau sekadar duduk-duduk sembari menyeduh kopi panas di tempat terbuka. Tagline yang digunakan untuk mengiringinya adalah ”Come to where the flavor is. Come to Marlboro Country”.


Musik tema film The Magnificent Seven yang dijadikan musik tema iklan Marlboro

Kampanye ”Marlboro Man” memberikan hasil dan efek yang mencengangkan. Hanya dalam beberapa bulan kampanye tersebut mengubah total citra Marlboro dari rokok untuk wanita menjadi rokok maskulin. Demikian pula efeknya terhadap penjualan. Pada tahun 1955 ketika kampanye tersebut dimulai, penjualan sigaret Marlboro adalah lima milyar dollar. Dua tahun kemudian, angka tersebut melesat menjadi 20 milyar dollar, alias meningkat 300 persen.

Poster iklan klasik Marlboro
Popularitas Marlboro sedikit terganggu ketika pada 1971 iklan rokok secara resmi dilarang untuk ditayangkan di TV Amerika Serikat. Mereka lantas mengambil jalan lain melalui iklan cetak di majalah dan billboard jalanan di seluruh penjuru negeri.

Posisinya sebagai merek rokok nomor satu di dunia menempatkan Marlboro sebagai obyek bulan-bulanan tersendiri oleh aktivis gerakan anti rokok. Beberapa hal semakin menyudutkan Philip Morris selaku produsen Marlboro, antara lain fakta bahwa tiga aktor yang berperan sebagai koboi Marlboro – David McLean, Wayne McLaren, dan Dick Hammer – meninggal karena kanker paru-paru. Atas kejadian tersebut, Marlboro mendapat julukan baru sebagai “Cowboy killers” (pembunuh koboi).

Pada 1976, sebuah film dokumenter berjudul “Death In the West” produksi Thames Television ditayangkan di televisi Inggris tersebut. Film itu mengangkat isu seputar industri rokok dan terutama mengkritisi mitos Pria Marlboro bikinan sang produsen. Philip Morris menuntut pihak pembuat film, berujung pada kesepakatan rahasia pada tahun 1979 di mana semua kopi film dokumenter tersebut tidak akan disebarluaskan. Namun kesepakatan rahasia itu akhirnya gagal menekan peredaran film tersebut secara permanen.

Kini, di sebagian besar belahan dunia, sang koboi macho pria Marlboro hanya dikenang sebagai ikon yang pernah jaya di masa lalu.

****
 
© Copyright 2035 Inspirasi PR dan Marketing
Theme by Yusuf Fikri