Jumat, 11 Maret 2011

Strategi Israel Memoles Citra Melalui Media Sosial


Israel selama ini dikenal sebagai pelaku strategi public relations tingkat dunia yang tangguh, yang banyak menitikberatkan upaya melalui lobby groups kuat untuk membela kepentingan dalam negeri mereka. Suatu lobby groups didirikan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah atau perusahaan, dan mengarahkan opini publik agar berpihak kepada mereka. Lobby groups bentukan Israel yang banyak berperan dalam mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC).
Namun pemerintah Israel tampaknya menyadari, sekadar mengandalkan lobby groups konvensional tampaknya tak lagi memadai pada era Web 2.0. Ini adalah era baru di mana pemerintah suatu negara bukan lagi kekuatan monolitik dan pengambil keputusan satu-satunya. Kini setiap individu di seluruh pelosok dunia yang memiliki akses internet bebas terlibat dalam diskusi global dan menyuarakan pendapatnya. Gabungan kekuatan opini mereka mampu melibas pemerintahan yang bebal dan keras kepala seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia.

Israel kini secara sistematis melancarkan seri kampanye humas berbasis Web 2.0. Inisiatif yang dimulai pada 2008 itu meliputi penggunaan blog (blog teks maupun video blog), Facebook, MySpace, YouTube, Twitter, dan blog politik resmi untuk meraih kalangan audiens yang berbeda. Kementrian Luar Negeri Israel secara efektif mulai menggunakan Twitter sebagai saluran konferensi pers mikroblogging (microblogging press conference) saat perang dengan Hamas berkecamuk. David Saranga, diplomat yang bertugas di Konsulat Israel di New York, menjawab langsung sebagian besar pertanyaan yang datang dari seluruh dunia melalui pesan teks 140 karakter khas Twitter. Tweets tanya-jawab itu kemudian diposting pada halaman blog politik resmi pemerintah Israel, IsraelPolitik.

David Saranga adalah orang pertama yang menelurkan ide kampanye resmi pemerintah Israel melalui saluran online. Menurutnya, ide itu muncul saat menyadari bahwa berdasarkan riset, citra Israel kurang begitu baik di mata orang-orang muda pada rentang usia 18 – 35 tahun. Karenanya ia berpikir dengan merengkuh mereka melalui situs-situs populer – utamanya jejaring sosial – itu akan membantu memperbaiki citra yang rusak tersebut.

”Kami ingin meraih generasi muda, yang tidak membaca media konvensional, namun masih memiliki ketertarikan pada kejadian-kejadian di Timur-Tengah. Jadi kami pikir ini merupakan jalan yang tepat bagi pemerintah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang,” katanya.

Upaya yang serupa namun lebih frontal adalah yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Israel (Israel Defense Forces, IDF). Mereka membuat akun resmi di YouTube dan meng-upload video-video footage serangan udara pasukan Israel terhadap target-target Hamas di Jalur Gaza. Saat konflik dengan Hamas itu berlangsung, tak kurang dari 16 video mereka publikasikan melalui akun Idfnadesk.

Akun dephan Israel di YouTubeIDF sempat bermasalah dengan kebijakan konten YouTube. Beberapa video mereka dihapus setelah sejumlah pengunjung melakukan flagging pada video-video mereka yang dianggap ”tidak layak” untuk ditayangkan (inappropriate content) karena berisi adegan kekerasan militer. Sejumah video yang dihapus itu kemudian dipublikasikan kembali oleh pihak YouTube – entah karena tekanan atau hal lain. Mengenai pengembalian itu, Victoria Grand, kepala bagian kebijakan YouTube berkilah bahwa ”Terkadang video yang di-flag oleh user dihapus secara tak sengaja. Pada situasi semacam ini kami me-review kembali tayangannya, lalu mengambil langkah-langkah yang perlu, diantaranya termasuk mengembalikan video yang sempat dihapus ke tempatnya semula.”

Pada kasus penyergapan kapal Turki Mavi Marmara yang mengangkut bantuan kemanusiaan ke Gaza oleh pasukan khusus Israel, IDF juga kembali memanfaatkan YouTube untuk membuat kontra opini (counter-opinion) terhadap kecaman masyarakat internasional. Video yang mereka upload memperlihatkan rekaman – hasil editan - bagaimana pasukan khusus Israel lebih dulu menerima hajaran pipa besi oleh para aktivis sehingga mereka balas menembak.

Harus diakui, video tersebut – terlepas dari siapa yang benar atau salah dalam insiden ini – sedikit banyak memberi kemenangan hubungan masyarakat (humas) bagi Israel. Mereka berhasil membalik situasi dengan menempatkan diri sebagai pihak yang diperlakukan tidak adil dalam opini dunia internasional, dan para aktivis terlihat sebagai pihak yang salah dan brutal. Perdebatan soal siapa yang benar akhirnya menggeser fokus perhatian dari subyek yang sebenarnya: masyarakat Gaza yang tengah menanti bantuan.

Penggunaan media sosial untuk melancarkan kampanye publik sebelumnya lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi dengan kapasitas dan dana terbatas. Media sosial adalah saluran gerilya favorit para aktivis pergerakan, kalangan akar rumput, LSM, atau sekadar tempat hangout individu-individu yang numpang eksis di dunia maya. Namun setelah kemenangan Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat yang fenomenal, yang salah satu strateginya adalah memanfaatkan kekuatan Web 2.0, media sosial mulai dipandang secara serius.

Generasi muda adalah segmen kunci yang hendak diraih dengan kampanye melalui media sosial. Hasil studi kementrian luar negeri Israel sendiri menyatakan bahwa grup usia 16-30 tahun adalah audiens yang paling sulit dirangkul. Audiens pada rentang usia ini hampir tidak memiliki ketertarikan pada masalah-masalah dalam negeri Israel dan, andai pun tertarik, cenderung bersikap sangat kritis atas kebijakan pemerintah Israel.

Sementara Konsul Jenderal Israel Arieh Mekel mengatakan, ”Dalam perang hubungan masyarakat kami tidak dapat lagi mengandalkan teknik PR biasa. Waktunya telah tiba untuk memanfaatkan teknologi mutakhir guna menyampaikan pesan Israel.”

****
 
© Copyright 2035 Inspirasi PR dan Marketing
Theme by Yusuf Fikri