Selasa, 22 Maret 2011

Propaganda Nazi: Sisi Gelap Seni Mempengaruhi Opini Publik

Swastika.

Terlepas dari segala kegilaannya, Hitler adalah seorang genius dalam urusan propaganda. Dia sangat menyadari nilai dari propaganda yang dilakukan secara masif, dan Partai Nazi Jerman di bawah kendalinya (1933-1945) mempraktekkan propaganda secara sistematis dan brutal di semua lapisan dan media. Untuk urusan satu ini, Hitler bahkan membentuk kementrian khusus, dengan mengangkat Joseph Goebbels sebagai menteri propaganda. Karena penggunaannya yang vulgar oleh Nazi, istilah “propaganda” hingga sekarang memiliki konotasi yang kurang baik.


Sebagai usaha terkoordinasi untuk mempengaruhi opini publik melalui penggunaan media, propaganda Nazi menyediakan instrumen vital untuk meraih dan memelihara kekuasaan, juga melancarkan implementasi kebijakan-kebijakan mereka yang tidak populer sekalipun, seperti pembantaian jutaan orang yahudi pada holocaust dan mendeklarasikan perang total di seluruh daratan Eropa.

Mengikuti kemenangan Nazi pada pemilu Jerman tahun 1933, Hitler membentuk kementrian khusus urusan propaganda dan pencerahan publik dan mengangkat Goebbels untuk mengepalai kementrian tersebut. Kementrian tersebut bertugas memastikan bahwa pesan-pesan Nazi terkomunikasikan dengan baik melalui beragam media seperti film, pers, radio, teater, musik, seni, dan materi-materi pendidikan di sekolah.

Melalui propaganda, rakyat Jerman diingatkan pada perjuangan melawan musuh-musuh dari luar negeri dan subversi kaum Yahudi. Kampanye propaganda Nazi sengaja menciptakan kondisi yang toleran bagi timbulnya kekerasan terhadap orang-orang Yahudi. Untuk memastikan keberhasilan upaya tersebut, Goebbels didukung oleh satuan SS (Schutzstaffel, organisasi paramiliter utama di bawah komando Heinrich Himmler) dan Gestapo (polisi rahasia) yang akan memburu siapa saja yang berani mempublikasikan tulisan-tulisan yang menentang Nazi dan Hitler. Dia juga banyak dibantu oleh Albert Speer, seorang maestro dalam urusan teknik penyampaian propaganda kepada massa dalam jumlah besar secara langsung (live).

Segera setelah pengangkatannya sebagai menteri urusan propaganda pada 1933, Goebbels membentuk Reich Chamber of Commerce, satu organisasi induk yang mengawasi produksi dan sirkulasi karya sastra, seni, musik, radio, koran, film, dan sebagainya. Dengan segera organisasi ini berfungsi menjadi layaknya lembaga sensor superbody, karena setiap orang yang ingin menerbitkan buku atau artikel, membuat film, tampil dalam konser, dan aktivitas-aktivitas sejenisnya harus menjadi anggota organisasi ini terlebih dahulu. Partai Nazi akan memutuskan apakah orang itu boleh menjadi anggota atau tidak. Keputusan itu sebagian diambil berdasarkan pertimbangan afiliasi politik dan masa lalu pribadinya. Mereka yang ditolak menjadi anggota namun masih nekat menampilkan karyanya harus bersiap menerima hukuman berat.

Pasca invasi Jerman ke Uni Soviet, propaganda Nazi ditekankan kepada baik warga sipil maupun prajurit, polisi, dan pembantu-pembantu non-Jerman yang mengurusi daerah pendudukan. Propaganda tersebut menampilkan Jerman sebagai pengawal budaya barat dalam melawan ancaman kaum “Judeo-Bolshevik”, dan melukiskan gambaran mengerikan seandainya Soviet yang memenangkan perang. Propaganda ini makin diintensifkan ketika tentara Jerman mengalami kekalahan di Stalingrad pada Februari 1943.



Dalam bidang kesenian, film memegang peranan penting pada upaya menanamkan pandangan antisemitisme (anti Yahudi). Film-film produksi Nazi menampilkan Yahudi sebagai makhluk yang memiliki derajat di bawah manusia (subhuman), yang mencoba menginfiltrasi masyarakat Arya (ras Jerman). Beberapa film propaganda Nazi tersebut adalah The Eternal Jew (1940) yang disutradarai Fritz Hippler yang menggambarkan Yahudi sebagai parasit, dan The Triumph of the Will (1935) karya Leni Riefenstahl yang mengagung-agungkan Hitler dan gerakan National Socialist.

Poster dan selebaran adalah saluran vital lain propaganda Nazi. Keunggulan poster adalah kemudahannya dalam meraih target, efek visual yang kuat, dan terutama dia sulit dihindari. Orang bisa tak melihat film, mendengarkan radio, atau membaca karya sastra. Namun sulit baginya melepaskan perhatian dari poster besar yang tertempel di dinding kota saat dia berjalan melewatinya. Seniman yang banyak membikin poster-poster propaganda Nazi adalah Hans Schweitzer, menggunakan nama samaran "Mjölnir".

Beberapa bentuk karya yang tidak konvensional bahkan juga dimanfaatkan Nazi untuk kepentingan propaganda, seperti komik dan seni rupa kelas tinggi (fine art). Pemerintah pendudukan Jerman di Perancis yang dikontrol Nazi menerbitkan serial komik Vica (karya Vincent Krassousky) yang menampilkan pengaruh Nazi dan perspektif masyarakat Perancis.

Khusus fine art, Nazi tidak menganggapnya sebagai alat propaganda (setidaknya tidak dalam tingkatan selera yang sama seperti medium-medium lain). Mereka menggunakannya secara lebih subtil, menampilkan citarasa tinggi dan idealisme. Karena itu sangat jarang lukisan yang secara eksplisit menggambarkan pesan politik atau antisemitisme. Alih-alih, banyak diantara lukisan-lukisan karya seniman Nazi menggambarkan tema-tema lembut macam keluarga petani yang hidup dalam harmoni di alam pedesaan Jerman yang damai.

Cabang fine art lain berupa seni patung digunakan Nazi untuk mengekspresikan teori keunggulan ras mereka. Obyek yang paling sering dipilih adalah pria telanjang dari ras Arya dengan proporsi dan postur tubuh yang sempurna. Salah seorang pematung, Arno Breker, bahkan menjadi pematung favorit Hitler berkat patung pria Nordic telanjang karyanya.

Praktek lain yang membikin Nazi tersohor sebagai biang propaganda adalah kemampuannya mensugesti pikiran massa secara live. Jauh sebelum Michael Jackson atau Justin Bieber menyihir ratusan ribu penggemarnya sampai histeris dari atas panggung, Joseph Goebbels dan Albert Speer secara rutin menyelenggarakan acara pengumpulan massa (rally) besar untuk mendengarkan pidato Hitler di Kota Nuremberg setiap bulan Agustus. Rally yang sengaja diadakan malam hari itu mengumpulkan hingga 400 ribu orang yang - dengan teknik-teknik tertentu - bagai dicuci otak berbarengan sehingga pidato Hitler masuk ke pikiran mereka dan diafirmasi begitu saja tanpa perlawanan mental.

Kesan akbar diperkuat dengan penggunaan 150 lampu sorot berkekuatan tinggi yang dipasang berderet mengelilingi arena dan diarahkan secara vertikal ke langit. Sorot cahaya yang dipancarkannya konon dapat terlihat hingga jarak 100 kilometer, hingga politisi Inggris, Sir Nevilla Henderson, menjulukinya sebagai ”cathedral of light”.

Untuk memastikan setiap orang mendengarkan pidato Hitler, Goebbels mengatur penjualan radio murah yang diberi nama ”people’s receiver”. Pengeras suara dipasang di seluruh penjuru kota dan sudut jalan sehingga orang yang tak suka sekalipun tidak mungkin menghindari pidato sang Fuhrer. Kafe-kafe dan restoran juga diperintahkan untuk memperdengarkan pidato tersebut.

Propaganda Nazi adalah topik yang tergolong baru di ranah studi yang bertalian seperti psikologi massa, sosiologi, atau sejarah. Efektivitas propaganda Nazi diakui oleh para sejarawan. Namun terdapat perbedaan pandangan terhadap aspek yang mempengaruhi efektivitas tersebut: apakah disebabkan oleh pendekatan diktator-totalitarian yang digunakan Nazi, ataukah karena konsensus masyarakat itu sendiri yang membuat propaganda itu berhasil dengan baik.

Seperti banyak diketahui, orang Jerman dikenal sebagai masyarakat yang sangat disiplin dan teratur (dengan kata lain, mudah diatur). Mereka memiliki karakter kolektif yang patuh pada otoritas dan taat kepada hukum yang berlaku. Bukan tidak mungkin Hitler dan Nazi menyadari betul kecenderungan tersebut dan mengeksploitasinya habis-habisan buat kepentingan mereka. Wallahu a' lam.


****
 
© Copyright 2035 Inspirasi PR dan Marketing
Theme by Yusuf Fikri